Tuhan Dimana?! - Templat mirip Yahoo
Headlines News :
Home » » Tuhan Dimana?!

Tuhan Dimana?!

Written By Pelatihan blog on Sabtu, 01 Oktober 2011 | 17.15


Kalau Tuhan Itu Memang Ada,
Mana Tuhan Itu?!
Oleh: Abdul Ghani, Lc

Sebuah kesalahan manusia dari zaman dahulu sampai sekarang adalah ketika mereka menyamakan atau tidak bisa membedakan antara hukum akal dengan tashawwur aqli (gambaran-gambaran yang ada pada akal). Hukum akal adalah hukum tetap yang tidak pernah berlawanan dengan dalil apapun yang bersifat qath’i (pasti/definitif). Seperti Al-quran dan Sunnah yang sifatnya qath’i dilalah dan qath’i tsubut.

Dengan kata lain hukum akal adalah hukum yang sangat mendasar di dalam akal manusia. Berbeda hal nya dengan tashawwur aqli. Tashawwur aqli adalah hasil produksi akal berdasarkan informasi-informasi yang diperoleh oleh panca indera yang tanpa disadari hasil-hasil informasi dari panca indera tersebut menjadi dasar dalam berpikir oleh kebanyakan manusia, sehingga gambaran-gambaran dasar dalam akal ataupun pikiran-pikiran mendasar dalam akal manusia perorangan tersebut dianggap menjadi hukum akal.

Sebagai contoh: apapun yang terkena api dipastikan terbakar. Semua manusia dapat menyaksikan hal tersebut, bahwa api membakar atau api bersifat membakar. Dengan demikian setiap kali manusia melihat api yang langsung terlintas di dalam otak manusia adalah “hati-hati, api ini membakar”. Selalu itu terlintas di pikiran manusia secara umum. Sehingga hal tersebut pun menjadi dasar dalam berpikir bagi manusia secara umum dan berakhir pada anggapan bahwa semua api membakar yang dijadikan hukum akal, padahal bukan demikian kenyataannya.

Api membakar adalah sifat yang merupakan tashawwur aqli, bukanlah hukum akal. Karena hukum akal tidak akan menyalahi dan berlawanan dengan fakta thabi’I i (asli) ataupun fakta-fakta kejadian yang ada di alam. Kesimpulan dari hukum akal terhadap api adalah “membakar bukanlah sifat dasar dari api” yang ternyata berlawanan dengan tashawwur aqli manusia.
Sebagai bukti dalam Al-Quran (tentang Nabi Ibrahim).

قَالُوا حَرِّقُوهُ وَانْصُرُوا آلِهَتَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ. قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ.

Artinya: “Mereka berkata: "Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak". Kami berfirman: "Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim”. (Al-Anbiya : 68-69)

Ayat tersebut di atas membuktikan bahwa sifat dasar dari api bukanlah membakar dan juga bukan panas, walaupun api yang kita dapati selama ini panas dan membakar tetapi bukan berarti itu adalah hukum tetap kepada api melainkan hanya sekedar hasil dari informasi yang diperoleh oleh otak manusia dan menjadikan membakar begitu pun panas seakan adalah hukum terhadap api.

Ketika manusia menyamakan antara hukum akal dengan tashawwur aqli tersebut maka manusia telah melakukan kesalahan yang bisa berakibat fatal ketika membahas tentang wujud (ada) bahkan ada sekelompok manusia yang tidak bisa membedakan antara hukum akal dengan tashawwur aqli seperti di atas yang beranggapan bahwa akal mengatakan sesuatu yang wujud itu adalah sesuatu yang terlihat ataupun terasa dan dapat disentuh, sedangkan sesuatu yang tidak dapat dirasakan dilihat dan disentuh berarti bukanlah sesuatu yang wujud di alam nyata ini, kalaupun sesuatu yang tidak terlihat, terasa dan tersentuh tersebut ada, adanya hanya terbatas dalam ketidaknyataan atau yang biasa disebut dengan istilah wujuduzzihni (dalam pikiran) atau bahkan wujud lafzi (dalam lafaz), adanya Cuma dalam khayalan manusia atau a danya hanya dalam ucapan manusia.

Pada dasarnya, permasalahan seperti ini tidak akan menjadi masalah yang begitu fatal jika seandainya manusia tidak pernah mencoba memasuki ruang lingkup alam metafisik dengan akalnya. Alam metafisik sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i dan juga Sheikh Abdul Halim Mahmud sama juga dengan apa yang disampaikan oleh DR. Yusuf El-Qaradhawi dan ulama-ulama lainnya yang semuanya senada menyampaikan bahwa alam metafisik adalah alam yang forbidden bagi akal untuk memasukinya. Saat akal mencoba membahas perkara-perkara metafisik dengan akal maka bukan hasil yang didapatkan melainkan ketidakjelasan dari segala sisi.

Namun demikian bukan berarti juga bahwa akal tidak ada andil sama sekali dalam perkara metafisik atau perkara ghaib, melainkan akal juga tetap mempunyai andil untuk hal tersebut dengan syarat selalu seiring dan sejalan dengan nash-nash yang qath’i dari Allah dan Rasulnya.

Mungkin kita pernah mendengar lelucon berbentuk dialog antara seorang guru dengan muridnya dan sang guru ketika mengajar mengatakan bahwa Tuhan itu tidak ada, karena Tuhan itu tidak ada yang pernah lihat, tidak ada yang pernah menyentuhNya, bahkan tidak ada yang pernah mendengar suaraNya. Dengan demikian si guru menyimpulkan bahwa Tuhan tidak ada. Kemudian seorang murid balik berkata mengatakan bahwa otak gurunya tidak ada karena tidak ada orang yang pernah melihat otak dan menyentuh otaknya.
Kita bisa sedikit memahami tentang apa itu hukum akal dan tashawwur aqli. Tashawwur aqli menghendaki bahwa sesuatu yang wujud itu terlihat dan terasa akan tetapi kenyataannya hukum akal menolak tersebut dengan kata lain bahwa eksistensi bukan berarti harus ada materi.

DR. Abdul Halim Mahmud dalam buku nya yang berjudul El-Islam wa al- ‘aql beliau mengatakan bahwa istidlal liwujudillah ( mencari dalil bahwa Allah itu ada ) merupakan pembahasan yang tidak ada faedah bahkan dianggap bid’ah. Karena menurut beliau, Al- Quran dan Rasulullah SAW diutus ke atas bumi mendakwahkan tentang tauhidullah peng-ESA-an Allah bukan peng-ADA-an Allah. Sebab manusia dimana pun berada dan kapan pun zamannya; seperti yang disampaikan oleh DR, Abdul Halim Mahmud meyakini akan adanya Tuhan sebagai penguasa alam semesta, akan tetapi mereka menyembah kepada selain Tuhan seperti: berhala, bintang, matahari dan lain lain. Dengan alasan mereka meyakini bahwa benda-benda tersebut bisa mendekatkan mereka kepada Allah ataupun menyampaikan semua doa mereka kepada Tuhan. Selanjutnya DR. Abdul Halim Mahmud berkesimpulan bahwa Al Quran dan Rasulullah SAW diutus kebumi untuk memberantas kemusyrikan bukan untuk mengatakan Tuhan itu ada.

Tanpa mengurangi rasa hormat kita kepada DR, Abdul Halim Mahmud, kita mengakui benar bahwa Rasulullah SAW dan Al Quran sebagai kalamullah (perkataan Allah) diutus dan diturunkan kebumi untuk memberantas kemusyrikan secara nyata di dalam dakwah beliau demikian. Akan tetapi bukanlah hal yang terlarang untuk menjelaskan atau pun mencari dalil akal untuk membuktikan bahwa Tuhan itu ada seperti yang dilakukan oleh para mutakallimin (Ahli tauhid).

Sebab jika kita teliti lebih dalam kita bisa temukan bahwa Al -Quran secara tersirat juga mengatakan atau pun mengemukakan dalil bahwa Allah itu ada.

Karena pada kenyataannya ada beberapa kelompok manusia yangmencoba mengingkari akan adanya Tuhan seperti kelompok filsafat yang mendasarkan filsafatnya kepada materi ataupun kelompok filsafat yang mengakui akan wujud dan tidak ada selain wujud yang kita kenal dengan nama eksistensialisme.
ataupun kelompok-kelompok pengikut satanis yang mereka semua menolak atau berusaha menafikan akan keberadaan Tuhan.

Seperti karl marx yang mengatakan bahwa Tuhan itu tidak ada melainkan hanya khayalan manusia yang dibuat oleh akal manusia sendiri. Seperti halnya juga Darwin dan para pengikutnya yang menyatakan bahwa alam ini ada, hanya karena faktor kebetulan dengan adanya hukum alam yang kuat yang bertahan. Dan adanya istilah seleksi alam maka alam ini atau dunia ini masih bisa tetap eksis sampai sekarang tanpa ada campur tangan tuhan karena memang Tuhan (dalam kepercayaannya) itu tidak ada.

Kita sebagai orang yang beriman dan meyakini akan adanya Tuhan dan mempercayai dengan sepenuh hati akan kebesaran dan kekuasaan Tuhan terhadap alam semesta ini, Dia sang pencipta sang pengatur sang pengasih dan penyayang. Pastinya sama sekali tidak setuju dengan pendapat-pendapat orang-orang tersebut di atas. Dengan jelas kita mengatakan bahwa Tuhan itu adalah Allah yang tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah.

Namun, apakah benar kita meyakini seperti yang lidah kita ucapkan? Iman bukanlah sesuatu yang dapat diwariskan dari seorang bapak yang beriman ataupun kakek yang sering ke masjid, melainkan iman adalah urusan pribadi masing-masing dan diyakini oleh masing-masing didapatkan secara sendiri-sendiri dan pertanggungjawabannya juga sendiri.

Iman bukan hal yang terbatas hanya dihati tanpa ada ikut campur dari otak untuk membuktikan kebenarannya, dari dahulu para ulama telah lebih dahulu membahas tentang sifat-sifat Allah yang bagi kita sekarang ini hanya tinggal menikmati dengan memahami dan meyakini akan semua itu. Sifat Allah sebagaimana yang dibagi oleh ulama kalam atau para ulama ahli tauhid.

Ada 4 bagian dari sifat wajib bagi Allah SWT:
  1. Sifat Nafsiah (sifat yang disandarkan pada nafs/zat yang mesti ada pada zat dan tanpa sifat ini sifat yang lain tidak ada)
  2. Sifat Salbiah (sifat yang mensalibahkan/menafikan/menolak semua bentuk sifat yang tidak pantas jika disandarkan pada Allah)
  3. Sifat Ma’ani (sifat yang melekat pada zat)
  4. Sifat Ma’nawiyah (sifat yang berkaitan langsung dengan perbuatan Allah)

Yang menjadi pembahasan kita pada tulisan singkat ini adalah mengenai sifat Nafsiah. Dinamakan dengan sifat Nafsiah karena sifat tersebut berkaitan langsung dengan Nafs atau zat, dengan kata lain tanpa adanya sifat ini maka tidak ada sifat-sifat yang lain. Sifat tersebut adalah sifat Wujud (ada).
Allah bersifat dengan sifat “wajibul wujud” maksud dari wajibul wujud adalah: Tidak boleh atau pun terlarang bagi zat Allah. Ketidak adaan, baik pada masa dahulu ataupun masa yang akan datang. Allah wajibul wujud berarti juga Allah itu pasti ada, dan selalu ada Mustahil “tidak ada” menghampirinya.
Ulama kalam secara umum mengemukakan dua dalil akan wajibul wujud nya Allah SWT:
  1. Dalil Iftiqaar kulli syain lahu (segala sesuatu membutuhkan Allah)
  2. Dalil Ghaniyun ‘an kulli syain (Allah tidak membutuhkan pada apapun)
Iftiqar kulli syain lahu adalah bukti nyata dan dalil yang begitu jelas bahwa Allah itu bersifat dengan wajibul wujud atau pasti adaNya. Tidak ada satu pun dari makhluk di atas bumi ini yang bisa menjamin dirinya untuk tidak membutuhkan Allah, disadari atau tidak disadari semua makhluk bagaimana pun bentuknya dan dimanapun tempatnya selalu membutuhkan Allah.
Allah ta’ala berfirman dalam surat al-ikhlas:

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ. اللَّهُ الصَّمَدُ. لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ. وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

Artinya: “Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.”

Akal manusia dan hati manusia pasti akan mengatakan adalah hukum alam, yang kuat lagi kuasa menjadi tempat berlindung menjadi tempat mengadu dan yang sempurna menjadi tempat untuk menyerahkan segala kekurangan. Demikian kenyataan yang telah menjadi fitrah bagi semua makhluk dari yang nyata sampai yang ghaib dan yang kecil hingga yang besar, semuanya bergantung hanya kepada Allah.

Saat muncul sebuah pertanyaan, mana Allah yang dikatakan ada tersebut? wujudnya tidak terlihat dan tidak terasa. Memang benar Allah tidak terlihat tapi begitu salah ketika dikatakan tidak terasa. Sebab perasaan manusia tidak bisa lepas dari kekuasaan sang kuasa. Coba sejenak kita meresapi hati manusia sebagai dasar perasaan. Apakah manusia tidak menyadari bahwa hatinya tersebut tidak bisa mereka kendalikan dengan sedemikian rupa sekehendak pikirannya. Yang demikian adalah bukti bahwa hati itu adalah kekuasaan Allah dan menjadi bukti bahwa manusia tersebut tidak bisa lepas dari Allah.

Sesuai dengan hadist Nabi SAW: “Hati orang-orang yang beriman berada di dalam genggaman sang maha pengasih”.

Para ulama menjelaskan bahwa adanya alam ini dan segala isinya adalah bukti bahwa Allah itu ada. Karena memang benar dan telah diakui oleh kecanggihan teknologi pada zaman sekarang bahwa alam ini tidaklah tercipta secara kebetulan seperti apa yang dikatakan oleh Darwin dan darwinisme melainkan semuanya adalah atas kehendak dan kekuasaan Allah sebagai tuhan sekalian alam.

Secara umum alam adalah bukti bahwa Allah itu ada secara khusus lagi. Diri kita dan manusia semuanya. Mari kita mencoba untuk meresapi keberadaan kita di alam ini. Apakah masih kurang menjadi bukti akan kuasa Allah sebagai tuhan yang wujud dan wujud nya adalah wajibul wujud?!
Mari kita resapi kembali Allah menjadikan manusia sebagaimana firman Allah di dalam Al -Quran surat Adz-Zariyat ayat 56-57:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ. مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ

Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan.”

Allah ciptakan manusia untuk beribadah dan menyembah hanya kepada Allah SWT. Karena memang tidak ada tuhan kecuali hanya Allah.

Dalil kedua yaitu Allah tidak butuh akan segala sesuatu. Dalam surat Adz-Zariyat di atas dikatakan bahwa Allah tidak membutuhkan rezeki dari makhluk dan juga tidak membutuhkan makanan dari makhluk. Melainkan Allah yang memberi rezeki kepada makhluk semuanya. Karena Allah adalah zat yang maha kaya. Begitu banyak ayat-ayat di dalam Al Quran yang menjelaskan bahwa Allah yang memberi rezeki kepada semua makhluk.

Apakah masih pantas kita menanyakan apakah Tuhan ada?! Sedangkan kenyataannya diri kita dan hati kita bahkan semua makhluk di atas dunia ini mengakui bahwa Tuhan itu ada. Tidak terlihat bukan berarti menjadi dalil bahwa sesuatu itu tidak ada.

Kembali kepada defenisi dari iman secara istilah: meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lidah dan mengamalkan nya dengan seluruh anggota badan. Dengan mengamalkan semua itu secara keseluruhan iman yang begitu kokoh di dalam hati pun akan tercipta terkhusus dalam keyakinan akan adanya Allah dan kekuasaan Allah akan semua makhluknya.

Semoga Allah selalu menjaga hati kita karena cuma Allah lah zat yang maha menggenggam hati kita semua. Amin.
Share this article :

1 komentar:

  1. Mewakili penulis, disini admin cantumkan langsung dan ditujukan kepada saudara kita @Zikir dan Kontemplasi:

    (terima kasih banyak atas tanggapannya.
    Benar, jika ingin mengetahui kebenaran maka tinggalkan perdebatan dan diskusi.
    Tapi bukan berarti kita berhenti untuk mencari kebenaran.
    Diskusi bukanlah sesuatu yang terlarang, selama diskusi adalah sebuah proses menuju sebuah kebenaran,tentunya tanpa unsur fanatik yang akan membawa kepada salah menyalahkan.
    Bergaul dengan orng soleh adalah ajaran allah.
    Cahaya keimanan adalah sebuah pancaran yang smua orng bisa dptkan tentunya dengan usaha yng bisa menyingkirkan segala bentuk penghambat akan pancaran tersebut.pengetahuan akan diri bisa dijadikan jalan menuju sebuah pengetahuan akan kebenaran,akan tetapi sedikit orng memahami.
    Semoga kita menjadi abdi allah yng mendpat pancaran akan keimanan kepadaNya.
    Saya tertarik dengan ungkapan "orang dewasa"
    Terima kasih atas masukannya. By: Abdul Ghani)

    BalasHapus

Subscribe via RSS Feed If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Templat mirip Yahoo - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template